Legislator Papua Tak Akan Pulang Sampai Masalah di Yogya Usai

Jakarta – Rombongan legislator Dewan Perwakilan Rakyat Papua yang sejak Minggu malam berada di Yogya, sampai saat ini belum kembali ke Papua. Mereka masih berupaya bertemu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X, untuk membahas soal mahasiswa Papua di kota itu pasca insiden di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan, 15 Juli lalu.

“Mereka (mahasiswa Papua di Yogya) ingin Gubernur dan Ketua DPRD mengklarifikasi ucapan (soal separatis), dan memberi jaminan tertulis soal keselamatan mahasiswa Papua di Yogya dan rasisme. Maka sepanjang itu belum selesai, kami tidak pulang ke Papua,” kata Laurenzius Kadepa, anggota Komisi I Bidang Pemerintahan, Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia DPR Papua kepada CNNIndonesia.com, Selasa (26/7).

Laurenzius dan rekan-rekannya di DPR Papua tiba di Yogya Minggu malam (24/7), dan Senin hingga hari ini menggelar berbagai pertemuan dan koordinasi. Rombongan Laurenz terdiri dari sekitar enam orang DPR Papua, pejabat Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Papua, serta Wakil Direktur Intelijen dan Keamanan Polda Papua.

Merekasiang hingga sore ini bertemu Aliansi Mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Kamasan I, Jalan Kusumanegara. Selanjutnya para legislator Papua itu hendak bertemu dengan Kapolda dan Gubernur DIY “apabila mereka menyediakan waktu untuk bertemu.”

Laurenz berkata, rombongannya belum tahu kapan bisa bertemu dengan Sultan. “Kami baru melobi. Oleh sebab itu kami bawa pejabat Polda Papua supaya berkomunikasi antar-polda dengan Polda DIY.”

Sementara pertemuan dengan Aliansi Mahasiswa Papua, menurut Laurenz, belum menghasilkan kesimpulan ataupun kesepakatan.

“Mahasiswa minta ini tak sekedar pertemuan. Mereka ingin tim DPR Papua benar-benar memperjuangkan sampai ada surat tertulis dari Sultan selaku Gubernur DIY dan Raja Jawa yang berisi jaminan keamanan bagi mahasiswa Papua di DIY,” kata Laurenz.

Jika tidak ada klarifikasi atau surat jaminan tertulis, ujar Laurenz, “Mahasiswa Papua berkata siap eksodus.”

Persoalan mahasiswa Papua di Yogya mencuat ketika polisi mengepung asrama mereka pada 15 Juli. Ketika itu mahasiswa Papua yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat berencana melakukan long march dari depan asrama mereka di Jalan Kusumanegara, ke Titik Nol KM di Jalan Panembahan Senopati.

Long march itu batal karena polisi mengepung asrama dan mendorong para mahasiswa Papua masuk ke dalam. Menurut polisi, mereka hendak mengamankan mahasiswa Papua dari ormas-ormas antiseparatis yang datang untuk menentang rencana long march para mahasiswa itu.

Long march tersebut merupakan bagian dari aksi damai guna mendukung Gerakan Pembebasan Papua menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Hroup. Dalam MSG yang beranggotakan pemerintah negara-negara Melanesia di Pasifik Selatan itu, Indonesia dan Gerakan Pembebasan Papua berebut dukungan.

Gerakan Pembebasan Papua mengincar keanggotaan penuh di MSG untuk memuluskan penyampaian aspirasi mereka terkait isu Papua. Niat tersebut ditentang Indonesia yang tak menghendaki Papua memisahkan diri.

Insiden di asrama Papua diperkeruh dengan dugaan pelanggaran HAM oleh ormas-ormas intoleran dan aparat keamanan. Para anggota ormas melontarkan nama-nama binatang dan kata-kata rasialis, sendangkan sejumlah mahasiswa Papua sempat ditangkapi aparat.

Usai insiden itu, Sultan meminta kepada orang Papua di Yogya untuk tidak melakukan aksi separatisme, sebab mereka bagian dari Indonesia. Bagi yang memiliki aspirasi separatisme, kata Sultan, jangan tinggal di Yogyakarta.

Ucapan Sultan, menurut pengurus Biro Politik Aliansi Mahasiswa Papua Roy Karoba, dikhawatirkan melegitimasi aparat serta ormas di Yogya untuk bertindak diskriminatif terhadap mahasiswa Papua.

“Label separatis selama ini digunakan aparat sebagai legalitas untuk membunuh, menangkap, meneror, mengintimidasi, dan memenjarakan orang asli Papua,” kata Roy.

Dalam surat terbuka kepada Sultan, Aliansi Mahasiswa Papua mengatakan tugas mereka sebagai mahasiswa ialah belajar dan memperjuangkan keadilan bagi rakyat Papua Barat.

“Rakyat Papua yang memperjuangkan hak-hak demokratisnya selalu dihadapkan dengan moncong senjata, penangkapan, pemenjaraan, penyiksaan, teror, intimidasi,” ujar mereka.

Pada saat yang sama, kata mereka, “Pengeksploitasian sumber daya alam tidak pernah berhenti dan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari rakyat Papua, mengakibatkan ribuan hektare tanah rakyat Papua hilang dirampas...?

Pleh sebab itu Aliansi Mahasiswa Papua menyatakan, sebagai bagian dari rakyat Papua, mereka tidak akan tinggal diam melihat penderitaan masyarakat di daerah asal mereka.

Secara terpisah, Pemerintah Kabupaten Manokwari, Papua Barat, kemarin mengunjungi Pemerintah Kabupaten Sleman, DIY, untuk membahas upaya revitalisasi hubungan sosial warga Papua Barat yang ada di DIY.

Ketua DPRD Manikwari Dedy Subrata berkata, Pemprov Papua Barat dan Pemkab Manokwari prihatin dengan perkembangan saat ini. Eksekutif dan legislatif Papua Barat, ujarnya, ingin menciptakan suasana kondusif bagi mahasiswa Papua Barat yang sedang menempuh pendidikan di Yogya.

Kepala Kesejahteraan Pembangunan dan Perlindungan Masyarakat (Kesbang Linmas) Kabupaten Sleman, Ardani, mengimbau agar masyarakat menjaga kedamaian dan keharmonisan di Sleman, Yogya.


“Kami berharap warga pendatang maupun warga Sleman yang merantau, agar menghormati adat istiadat di daerah mereka berada, karena dengan saling menghormati, konflik sosial dapat dihindari,” ujar Ardani. (CNNIndonesia.com)









Previous
Next Post »

Jadilah yang pertama berkomentar di bawah ini ConversionConversion EmoticonEmoticon