KPK Gandeng CPIB Singapura Untuk Cari Eddy Sindoro



Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan telah berkoordinasi dengan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura untuk menyelidiki keberadaan mantan petinggi Lippo Group Eddy Sindoro yang diduga berada di Singapura.

Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, KPK telah berkoordinasi dengan CPIB setelah beredar informasi yang menyebut Eddy berada di Singapura. Meski demikian, Agus mengaku tidak bisa menyampaikan secara rinci informasi apa yang telah diterima KPK dari CPIB.

“Saya tidak bisa sampaikan secara spesifik (informasi dari CPIB),” ujar Agus di Sukabumi, Jumat (19/8).

Agus menuturkan, pertukaran informasi antara KPK dan CPIB akan terus dilakukan. Ia juga tidak menutup kemungkinan KPK akan bekerjasama dengan CPIB dalam perkara lain.

“KPK dan CPIB punya hubungan baik. Kami saling bertukar informasi,” ujarnya.

Eddy Sindoro diduga terlibat kasus dugaan suap pengajuan Peninjauan Kembali atas perkara anak usaha Lippo Group di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Dalam kasus suap itu, mantan Pnaitera Pengganti PN Jakpus Edy Nasution menjadi sebagai tersangka penerima suap dengan Doddy Aryanto Supeno sebagai tersangka pemberi suap dari pihak swasta.

Doddy adalah pegawai PT Artha Pratama Anugerah yang merupakan anak perusahaan Lippo Group dengan Presiden Komisaris Eddy Sindoro.

Dalam perkembangannya, yaitu dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Rabu (29/7), tersangka Doddy diketahui memberikan uang suap tersebut bersama sejumlah petinggi Group Lippo lainnya yakni Eddy Sindoro, Hery Sugiarto, Ervan Adi Nugroho, dan Wresti Kristian Hesti.

Perkara yang berlangsung di PN Jakarta Pusat itu melibatkan dua anak perusahaan Group Lippo, yaitu PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dengan PT Kwang Yang Motor Co, Ltd (Kymco) serta PT Across Asia Limited (AAL) melawan PT First Media.

Perkara PT MTP berawal ketika mereka tak memenuhi panggilan aanmaning atau peringatan pengadilan untuk melaksanakan putusan perkara perdata dengan PT Kymco. Eddy Sindoro kemudian memerintahkan Wresti untuk mengupayakan penundaan pemanggilan tersebut.

Wresti menemui Panitera Pengganti PN Jakpus Edy Nasution untuk membahasa perintah Eddy Sindoro. Edy lantas sepakat menunda dan meminta imbalan Rp 100 juta.

Sementara perkara PT AAL bermula dari putusan kasasi Mahkamah Agung yang menyatakan PT AAL Pailit pada 7 Agustus 2015. Atas putusan kasasi tersebut, PT AAL memiliki waktu 180 hari untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

Namun, hingga batas akhir tersebut, PT AAL tidak segera mengajukan PK. Eddy Sindoro kemudian kembali memerintahkan Wresti untuk mengupayakan pengajuan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Wresti kembali menemui Edy dan memintanya menerima pengajuan PK PT AAL meski telah melampaui batas pendaftaran.

Dalam dakwaannya disebutkan, Edy tidak bersedia lantaran waktu pengajuan PK sudah lewat. Namun Wresti kemudian menawarkan sejumlah uang pada Edy dan disepakati jumlah sebesar Rp
Previous
Next Post »

Jadilah yang pertama berkomentar di bawah ini ConversionConversion EmoticonEmoticon