KPK Periksa Mantan Petinggi Lippo dan Presdir PT Paramount


Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi menjadwalkan pemeriksaan terhadap mantan petinggi Lippo Group Eddy Sindoro terkait kasus dugaan suap pengajuan Peninjauan Kembali (PK) atas perkara dua perusahaan swasta di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Berdasarkan keterangan resmi KPK, Eddy sedianya akan diperiksa sebagai saksi bagi tersangka mantan Panitera Pengganti PN Jakut Edy Sindoro. Pemeriksaan Eddy merupakan yang ketiga, setelah mangkir dalam dua panggilan sebelumnya.

KPK juga memeriksa Presiden Direktur PT Paramount Enterprise International Ervan Adi Nugroho sebagai saksi bagi Edy. Ia terlihat telah hadir di Gedung KPK. Namun, ia tak berkomentar saat ditanya soal pemeriksaan kali ini.

Ervan sebelumnya telah diperiksa sekitar sepuluh jam oleh penyidik KPK pada 30 Mei 2016. Saat itu ia sama sekali tak berkomentar soal dugaan keterlibatannya dalam kasus suap tersebut.

Tak hanya Eddy dan Ervan, KPK juga memanggil mantan Wakil Komisaris Lippo Group Suhendra Atmadja sebagai saksi bagi Edy. Ia diduga mengetahui proses suap yang terjadi di PN Jakpus.

KPK sudah mencegah Eddy ke luar negeri karena diduga terlibat dalam penyuapan itu. Dalam surat dakwaan disebutkan bahwa Eddy Sindoro memerintahkan salah satu stafnya, yakni Wresti Kristian Hesti untuk memberikan suap pada panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution melalui Doddy.

Suap sebesar Rp 150 juta itu diberikan untuk menunda salinan putusan perkara dua anak usaha Lippo Group di PN Jakarta Pusat, yakni PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) versus PT Kwang Yang Motor Co, Ltd (Kymco), serta PT First Media melawan PT Across Asia Limited (AAL).

Diketahui PT MTP tak memenuhi panggilan aanmaing atau peringatan pengadilan untuk melaksanakan putusan terkait perkara perdata dengan PT Kymco. Eddy Sindoro kemudian memerintahkan Wresti mengupayakan penundaan pemanggilan tersebut.

Uang kemdian diperoleh dari Hery Soegiarto selaku Direktur PT MTP yang diberikan pada Edy melalui terdakwa di ruang bawah tanah Hotel Acacia pada Desember 2015.

Sementara itu, perkara PT AAL bermula dari putusan kasasi Mahkamah Agung yang menyatakan PT AAL pailit pada 7 Agustus 2015. Atas putusan kasasi tersebut, PT AAL memiliki waktu 180 hari untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Namun, hingga batas akhir waktu tersebut, PT AAL tidak segera mengajukan PK.

Demi kredibilitas perusahaan yang tengah berperkara di Hong Kong itu, Eddy Sindoro kemudian kembali memerintahkan Wresti mengupayakan pengajuan PK ke PN Jakarta Pusat. Singkat cerita, Wresti kemudian menawarkan sejumlah uang pada Edy, disepakati jumlah sebesar Rp 50 juta.

Uang selanjutnya diberikan Ervan melalui terdakwa kepada Edy di Hotel Acacia pada 20 April 2016. Tak lama setelah penyerahan uang itu, terdakwa dan Edy Nasution dibekuk petugas KPK dengan barang bukti berupa tak kertas bermotif batik yang berisi uang Rp 50 juta.


Hingga kini, baru Edy dan Doddy yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam suap di PN Jakpus. Namun, dalam perkembangan penyidikan, KPK juga menduga ada keterlibatan mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Abdurrachman.








Previous
Next Post »

Jadilah yang pertama berkomentar di bawah ini ConversionConversion EmoticonEmoticon